Salah satu Judul Cerpen Dalam Buku 'ATAS NAMA KEHIDUPAN'
Judul : Emak, Aku Berhasil
Penulis : Langga Gustanto
EMAK, AKU BERHASIL
Rasanya menekuni dunia sastra tidak akan pernah ada habisnya, Emak pernah bilang.
“Nak, kenapa sih kamu maunya jadi seorang penulis?” Tutur Emak yang sempat membuatku bingung untuk menjawabnya.
“Kamu kan bisa melamar bekerja di perusahaan atau memberikan surat lamaranmu di salah satu lembaga pendidikan. Siapa tahu bisa diterima menjadi guru. Kamu kan punya title, Nak?” Tambahnya dengan nada memojokkanku.
“Iya Mak.” Jawabku dengan santun.
“Mak, insya Allah apapun yang saat ini sedang kutekuni dengan sungguh-sungguh, Tuhan pasti memberiku jalan yang terbaik, semua butuh proses Mak, terkadang kita pun pasti didera kegagalan tetapi bagiku tidak untuk menulis. Aku bisa selalu berbagi dan memberi inspirasi pada dunia, dengan menulis jiwaku selalu menunduk karena setiap tulisan-tulisanku menjadi cermin kepribadian diri.” Tutupku dan Emak menghampiriku lalu segera memeluk.
***
Ucapanku seakan menjadi pengobat kegelisahan Emak yang cukup lama karena melihat nasibku. Perbincanganku dengan Emak semakin menemui kehangatan. Setelah kujelaskan dengan gamblang, Emak pun akhirnya memahami keinginanku menjadi seorang penulis. Sekarang, aku dapat melihat anatomi raut wajah Emak berubah dan Ia pun sepertinya dapat bersahabat dengan mimpiku sebagai seorang penulis, sangat jauh ketika aku belum sempat menjelaskan semua hal tadi kepada Emak
“Syukurlah Mak..!” Aku melempar senyum.
Emak sekarang bisa memahami kondisiku dan keinginanku untuk meraih mimpi menjadi seorang penulis. Aku langsung menghampiri Emak dan mengucapkan sesuatu padanya.
“Suatu saat aku ingin menjadi Andrea Hirata, Mak.” Kataku sambil menatapnya.
“Andrea Hirata itu siapa Nak?” Tanya Emak seraya menggarukan kepala.
“Mak, Andrea Hirata itu seorang penulis terkenal. Buku-bukunya tersebar dan sangat laris Mak, bahkan sampai karya-karya beliau dibuat menjadi film dengan judul laskar pelangi.” Emak semakin bingung dengan apa yang kujelaskan.
“Memang dia orang mana Nak?” Sela Emak padaku
“Ya sudah Mak, nanti aku cari dulu di internet ya! Siapa tahu ada informasi tentang dia.” Tutupku dengan canda agar Emak tidak lagi bertanya.
***
Aku pun memutuskan untuk merantau ke salah satu kota di daerah Jawa Tengah, entah dari mana kuawali karir sebagai buruh pabrik swasta. Aku pergi dengan membawa restu dan doa dari Emak. Sesampai di tempat tujuan, aku sempat bingung. Emak yang pernah kuyakinkan akan keberhasilanku nanti pasti tak tahu keadaanku yang sebenarnya di sini. Emak hanya tahu, bahwa aku sedang berusaha keras mengejar impianku menjadi seorang penulis yang akan terkenal dan sukses.
Emak, di dalam kamar yang berukuran kecil ini, aku terasing bersama dengan kesunyianku. Sebenarnya dulu kutinggalkan rumah hanya ingin melihat seberapa besar nyaliku menantang kerasnya kehidupan dunia luar. “Emak, Aku rela menjadi musafir karena mendalami impianmu untuk dapat melihat Ka’bah.” Emak pasti tidak sadar, apa yang diucapkan saat malam menyelimuti dirinya dalam lelap, Ia seringkali mengucapkan kalimat “Labbaik Allahuma Labbaik” Kalimat yang selalu diucapkan para jamaah Haji yang berada di tanah suci Saudi Arabia.
Aku sulit untuk berkomunikasi dengan Emak, karena Beliau adalah wanita yang sudah paruh baya. Aku hanya bisa mengirimkannya pesan singkat lewat handphone milik tetanggaku, lalu tetanggaku tersebut menyampaikannya kepada Emak. Seandainya Emak masih bisa mendengar dengan jelas, mungkin aku akan sering menelponnya, agar aku dapat berbicara langsung. Inilah kesulitanku untuk menyambung silahturahmi dengan Emak.
***
Emak hanya tinggal bersama Adikku. Ia baru berusia sepuluh tahun dan harus terpaksa putus sekolah karena tidak memiliki biaya. Niat baik pemerintah negeri ini tidak benar-benar sampai kepada rakyat kecil, karena sama saja. Walaupun dibebaskan biaya operasional, namun selalu saja ada pungutan liar yang tidak jelas. Dengan keadaanku yang masih seperti ini, aku terpaksa tega melihat adikku putus sekolah.
Katanya. “Bang, semoga Kau sukses, Alya ingin sekali melanjutkan sekolah. Alya malu Bang, teman-teman SD Alya dulu selalu bertanya kenapa Alya tidak melanjutkan sekolah lagi.”
Ucapan Adikku seakan menjadi tamparan keras buatku. Bagaimana tidak? Aku adalah anak laki-laki Emak yang paling besar, seharusnya aku sudah dapat membantu adikku dan membiayai sekolahnya.
“Mungkin Allah sedang mencarikan jalan yang terbaik buatku dan aku tidak boleh berprasangka buruk pada takdir-Nya.” Gumamku dalam hati di dalam ruang kamar kos berukuran kecil.
Baru satu bulan di kota perantauan, akhirnya aku mendapatkan pekerjaan. Alhasil aku diterima di salah satu perusahaan kayu lapis swasta. Aku mengucap syukur, meski gajiku tidak terlalu besar pada saat itu. Ini adalah pekerjaan pertamaku. Aku tak lupa menyisihkan beberapa lembar uang tiap bulannya untuk ditabung. Aku selalu berusaha melakukan yang terbaik, aku mencoba untuk tetap bertahan bekerja di sana.
***
Satu tahun kemudian, kontrak masa kerjaku berakhir. Aku mulai bingung mencari pekerjaan lainnya lagi. Perusahaan tidak memerlukan tenagaku lagi, karena katanya sedang dilanda krisis. Aku terpaksa mengambil beberapa uang ditabunganku, ini semua kulakukan agar dapat bertahan hidup. Untuk membayar uang kos dan makan sehari-hari. Alhamdullilah, tabunganku saat itu terkumpul sekitar satu juta rupiah.
Hari selasa, cuaca pagi hari ini sangat cerah. Aku memutuskan berjalan mencari lowongan pekerjaan. Aku sejenak beristirahat di tempat penjualan koran.
Kataku. “Bang berapa harga Koran?” si penjual koran itu langsung menghampiriku dan menunjukan beberapa koran.
“Yang mana Mas?”Sambungnya. Aku langsung mengambil salah satu koran yang dipenuhi dengan banyak informasi pekerjaan.
“kalau yang ini berapa Bang?” Tanyaku sambil mengeluarkan dompet di saku celana.
“Ohh yang itu? Tiga ribu rupiah Mas.” Jawabnya.
Aku lansung membayarnya dan melanjutkan langkahku, kusimpan koran yang kubeli tadi di dalam tas. Rasa lelah pun semakin mengurangi keseimbangan derap langkah kakiku, dan matahari saat ini tengah berada tepat di atas kepalaku. Aku memutuskan untuk kembali ke tempat kos. Setelah sampai, Aku bergegas mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat Dzuhur. Usai sholat, aku beristirahat sejenak, membaringkan kedua kakiku yang sedaritadi berjalan lelah. Aku ingat dengan koran yang kumasukan ke dalam tas, tadinya aku sempat mengantuk dan ingin tidur, namun karena udara yang begitu panas di sini, kuputuskan untuk membaca koran beberapa menit sambil menunggu udara kembali normal.
Aku terkejut membaca satu kolom di dalamnya, terdapat lomba menulis yang berhadiah cukup besar, aku berusaha memperhatikan dengan baik segala persyaratannya. Aku beruntung. karena sempat membeli koran tersebut. Tentu, sejak dahulu cita-citaku memang ingin menjadi seorang penulis, aku bertekad memenangkan lomba tersebut. Rasa kantuk yang sempat menghalangiku langsung hilang begitu saja, aku semakin menikmati berita di koran mengenai info perlombaan menulis tadi.
***
Aku mengirimkan kabar lewat pesan singkat pada Emak lewat tetanggaku.
“Mas, tolong sampaikan pada Emak, saya meminta doa restu.”
Jawabnya. “Iya Mas,nanti saya sampaikan dengan Emakmu di sini.”
Hari demi hari kulewatkan dengan perjuangan untuk menulis naskah tersebut. Mendekati dateline atau batas waktu yang ditentukan, aku mengucapkan syukur karena naskahku berhasil kuselesaikan, Tema yang diusung waktu itu adalah tentang “Impian naik Haji” di mana dianjurkan bercerita tentang impian-impian terbesar menunaikan ibadah Haji.
Tidak main-main ketika itu, penyelenggaraan lomba tersebut langsung di sponsori oleh Departemen Agama, dan pemenangnya akan mendapatkan hadiah tabungan Haji. Ini adalah lomba tingkat nasional yang bertujuan membantu masyarakat merealisasikan impian terbesarnya untuk naik Haji dengan bantuan dari pemerintah.
Namun sayang, hanya dicari tiga orang pemenang dengan naskah terbaiknya. Aku sempat minder ketika melihat antusias ratusan peserta. Aku bisa melihat daftar nama peserta yang telah mengirimkan naskah mereka lewat internet karena informasi yang kubaca di koran tertera situs resmi Departemen Agama. Sungguh luar biasa, aku dan naskahku berada di nomor urut 130 dari jumlah peserta 900 orang lebih. Perasanku semakin galau, aku hanya bisa pasrah, apapun hasilnya nanti, yang jelas aku sudah berusaha menulis naskah tersebut dengan baik. Dua bulan berlalu, saatnya kudengar kabar yang mendebarkan jantungku. Aku sudah tidak sabar untuk mengetahui siapa nama peserta yang menjadi jawara dalam perlombaan menulis tersebut.
Yah. Aku tidak menyangka, entah apakah ini sebuah keajaiban atau Allah telah menjawab doa Emak yang benar-benar ingin melihat ka’bah. Aku langsung bersujud dan menangis biru setelah mengetahui bahwa naskahku terpilih, kulihat naskahku terbaik nomor dua. “Allahuakbar” Ucapku secara spontan. Wajahku sempat memerah karena terbawa suasana haru yang luar biasa.
Aku mendapat telephone dari pihak penyelenggara lomba, secara resmi aku diundang untuk menerima hadiah secara simbolis, bulir air mataku setengah mengalir, ketika para wartawan memotretku bersama dua orang pemenang lainnya untuk bahan dokumentasi publik. Aku kembali ke tempat kosku dengan perasaan bahagia yang luar biasa, bahkan sempat tidak percaya, aku masih menganggapnya seperti mimpi. Aku bergegas menelpon Emak.
Kataku. “Mas, tolong biar Emak berbicara padaku.” Ucapku kepada tetanggaku yang tidak jauh berada dari rumah Emak.
Tetanggaku pun bergegas menuju rumah Emak yang berjarak tidak terlalu jauh, Dua menit kemudian...
“Hallo!” Suara Emak terdengar dengan polos.
Aku tidak kuat berkata-kata, aku langsung menangis saat itu. Emak pasti tidak percaya, bahwa mimpinya sebentar lagi akan terwujud.
“Kenapa Nak?” Sambungnya.
Aku menghela nafas dengan dalam, dan setelah itu aku berbicara dengannnya.
“Emak, Kau akan bisa melihat Ka’bah sungguhan, bukan bermimpi lagi.” Pungkasku pada Emak yang kehilangan respon.
Emak tidak bisa jelas mendengar suaraku. Sayang. Emak sedikit tuli karena usianya yang sudah lebih dari setengah abad. Diberikannya telephone itu kepada tetanggaku.
“Mas, Emakmu tidak bisa mendengar dengan jelas, memang kamu mau ngomong apa? biar nanti saya yang menjelaskan di sini.” Tutur tetanggaku saat kutahu lawan bicaraku sudah berganti.
“Bang, bilang pada Emak, bahwa aku memenangkan lomba menulis dan aku akan segera memberangkatkan Emak naik Haji.” Jawabku dengan terbata-bata.
“kamu tidak bohong?” Tanyanya.
“Bang, aku benar-benar memenangkan lomba itu, lihat saja di koran terdapat photoku dengan membawa Tropy kemenangan, sampaikan pada Emak bahwa aku akan segera pulang ke sana.” Tutupku untuk mengakhiri pembicaraan.
***
Aku pun bergegas menuju rumah dan menemui Emak, Aku sudah tidak sabar ingin memeluknya.
“Emak, gimana kabarmu?” Ucapku sesaat sampai dan menemui Emak.
“Nak, Emak senang bisa melihat Ka’bah yang sebenarnya.” Sambut Emak.
“Terima Kasih ya Nak.” Tambahnya dan langsung memelukku dengan hangat. Emak sangat berantusias ingin segera mendarat di tanah suci, keinginannya sudah tercapai.
Lalu tiba-tiba kudengar suara polos yang datang di sampingku.
“Bang, terus gimana dengan sekolahku?” Sambutan awal yang hangat dari Alya, Adikku.
Ternyata perjuanganku belum berakhir, aku lupa dengan impian Alya yang ingin melanjutkan sekolahnya.
“Sabar ya Dek, semoga setelah ini Abang mendapat tawaran menulis, mungkin saja ada beberapa pihak yang melirik, karena abang sudah berhasil memenangkan lomba tingkat nasional, doakan saja biar Abang secepatnya membantumu dan mewujudkan impianmu.” Jawabku dengan lembut kepadanya.
***
Malam pertamaku di rumah, suara jangkrik yang merdu itu seakan mengingatkan masa laluku di kamar ini. Yah, aku tinggal di desa yang jauh dari keramaian dan kebisingan kota. Aku berencana untuk mengisahkan kemenangku saat meraih juara dua mengikuti lomba menulis kemarin. Lagi-lagi aku harus terjaga dari rasa kantuk agar dapat menulis. Aku putuskan untuk menunaikan sholat Isa terlebih dahulu, karena jika mataku sudah tidak lagi kuat, aku bisa langsung bergegas tidur. Sesaat aku melangkah untuk mengambil air wudhu di ruang belakang rumah, handphoneku berdering, aku sempat menunda langkahku sejenak dan kembali mengambilnya di dalam kamar.
“Assalamualaikum, maaf ini siapa?” Tanyaku.
“Apa benar ini nomor Mas Langga?” Jawabnya dengan suara jelas.
“Benar. Saya sendiri orangnya, kalau boleh tahu Bapak ini siapa dan ada keperluan apa dengan saya?” Sahutku yang semakin penasaran.
“Maaf Mas, saya mendapat informasi dan sempat melihat kabar Mas Langga di koran atas kemenangan karya tulis tingkat nasional waktu itu, apakah Mas bersedia datang ke alamat redaksi saya.” Pintanya dengan segera.
Aku sejenak diam dan bungkam, ini sungguh luar biasa, keberuntungan bertubi-tubi membangunkanku dari mimpi. Kataku sambil terbata-bata. “Baaaik Pak..!” Seseorang yang baru saja menelponku berasal dari pihak media cetak salah satu majalah islam. Langsung saja Ia memberikan alamat redaksinya kepadaku lewat pesan singkat. Lega rasanya, ternyata keyakinanku terhadap nasib baik membuahkan hasil, aku yakin Tuhan tidak akan menyia-nyiakan jerih payah perjuangan hidupku, walau kuawali semua dari hobi menulisku sejak kecil. Coretan yang penuh caci maki, kini begitu dihargai. Aku senang akhirnya dunia sastra mengakui keberadaanku dan memberikanku ruang untuk melanjutkan karya-karyaku.
Tentu, memang tidak semudah yang dibayangkan. Dahulu, bertubi-tubi rasa dengki dan caci maki pun menjadi lagu yang setiap saat mengiringi langkahku. Penilaian mereka atas karya-karyaku amat sangat rendah. Mereka yang sudah senior bak seperti dewa sastra dan tak pernah mau mengakui dan menghargai karya tulisku yang sederhana, Katanya. “Tulisanmu sangat buruk, kurang kreatif. Pokoknya jelek..!” Bahkan ada beberapa teman-temanku juga bilang “Untuk apa sih menulis, kamu cuma buang-buang waktu, menulis hanya dilakukan oleh orang yang kurang kerjaan.”
Beberapa ujian tersebut berhasil kulewati dengan sabar, aku menganggapnya sebuah teguran agar aku dapat berusaha dengan keras, Aku terus menantang rasa minderku. Bagiku. “Aku menulis untuk membahagiakan orang-orang yang kucintai, memberikan inspirasi kepada seluruh dunia terhadap apa yang aku rasakan.”
Satu tahun aku mendapatkan kontrak kerja di salah satu majalah Islami, “Allahuakbar” kalimat yang selalu kulantunkan karena begitu banyak nikmat yang Allah berikan. Tiba saatnya Emak berangkat Haji, aku pun bergegas mengurus persiapannya dan mengambil tabungan yang pernah diberikan saat memenangkan lomba menulis waktu itu. Uang tersebut tidak bisa diambil sebelum masa Haji tiba, Aku sempat bingung, karena Emak tidak mungkin berangkat ke tanah suci sendiri, Aku berusaha meminjam uang ke pihak redaksi tempatku bekerja.
Masa kerjaku di sana sudah tiga bulan, tetapi aku telah menunjukan produktifitas tulisan-tulisanku, sehingga Bosku sangat percaya kepadaku. Aku berhasil mendapatkan pinjaman 15 juta rupiah, angka yang cukup besar buatku. Tetapi dengan ikhlas, aku meminta tetanggaku untuk berangkat menemani Emak ke tanah suci, aku sudah menganggap tetanggaku seperti saudara sendiri. Kebetulan, Ia juga sudah berjasa banyak kepada keluargaku. Selama berada di perantauan kemarin, Dialah yang menjaga Emak. Aku pun mengenal betul dirinya yang taat beribadah selama ini. Yah, Aku mengambil kembali beberapa tabunganku untuk menutupi biaya kekurangannya.
Seandainya saja aku tidak terlibat oleh kontrak kerja, mungkin aku yang akan menemani Emak ke sana, Tetapi ini sudah jalanku. Toh, jika aku tidak menerima tawaran kontrak tersebut, aku juga tidak bisa membiayai sekolah Adikku, Alya. Memang. Dunia ini banyak sekali tawaran dan pilihan. Dengan membaca Bismillah. Kuputuskan menerima kontrak kerja di media cetak saat itu. Aku ikhlas, biarlah tetanggaku yang berangkat ke tanah suci sekaligus menjaga Emak. Bagiku. Aku sudah merasakan seperti Berhaji karena sudah memberangkatkan kedua orang yang kucintai, salah satunya adalah tetanggaku yang selama ini berjasa kepada keluargaku sendiri.
***
Beberapa hari berlalu, Emak dan tetanggaku pun kembali ke rumah dengan selamat. Raut wajah yang senang melantunkan kalimat-kalimat keagungan di tanah suci terbawa ke halaman rumah, Aku menciumi kening dan tangan Emak. Aku senang. Akhirnya aku bisa mewujudkan impian Emak selama ini. Adikku pun akhirnya berhasil menyelesaikan sekolahnya hingga ke jenjang perguruan tinggi sekarang.
Semua ini adalah berkat Doa tulus Emak. Doa Emak mampu menggemparkan langit dan Bumi dan Allah telah mengabulkannya. Sejak keberhasilanku itu, aku tidak lupa dengan keinginan yang sempat terbesit kala itu, aku membangun perpustakaan kecil di desa. Aku memberikan seluas-luasnya kesempatan bagi mereka yang putus sekolah, bagi mereka yang tidak mampu merasakan pendidikan secara formal dan ingin menyalurkan bakat menulisnya.
Setiap hari minggu, aku membuka kelas umum untuk mengajarkan beberapa anak yang ingin mengembangkan bakatnya dalam bidang sastra. Aku tak pernah takut, jika harus kembali menjadi orang miskin karena banyak mengeluarkan uang untuk membiayai semuanya. Bagiku, memberikan kebahagiaan kepada orang lain adalah sebuah ungkapan rasa syukur tersendiri, dan dari senyum mereka pula pasti melahirkan doa-doa yang tulus. Yah, seperti doa Emak kepadaku waktu lalu.
“Lihat Mak..!” Aku sudah berhasil. Aku telah memetik buah manis dari sederet penderitaan dan kegagalan. Walau aku belum bisa menjadi Andrea Hirata seperti apa yang pernah kuceritakan kepada Emak, tetapi aku begitu bahagia karena aku bisa memberikan kebahagiaan itu pula kepada orang-orang disekitarku.
“Terima kasih banyak, Mak.” Tuturku sambil memeluknya. Emak hanya tersenyum dengan memasang wajah keriputnya.
Mohon Kritik dan Masukannya untuk perkembangan dan kematangan menulis saya dilain waktu.. Ini adalah salah satu cerpen yang saya tulis di Buku 'Atas Nama Kehidupan'
Mohon maaf jika ini merupakan sebuah karya yang tidak berkenan dan enak dibaca, Semoga dilain hari, saya dapat lebih belajar dari pengalaman dan segala masukan dari setiap orang-orang yang lebih memiliki kapasitas lebih dan mumpuni dibidang sastra.
Terimakasih banyak.
Salam dari Penulis,
Langga Gustanto
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
note:
Judul : ATAS NAMA KEHIDUPAN
Penulis : Langga Gustanto
Tebal : X 194 hlm
Harga : Rp. 41.700,- ISBN : 978-602-225-365-5
Jika kawan-kawan penasaran dan ingin mengetahui berbagai cerita inspiratif dan motivatif yang lain di dalam Buku tersebut, silahkan membelinya. Buku ini sudah bisa dipesan sekarang via website www.leutikaprio.com inbox Fb leutikaprio dengan subjek PESAN BUKU, atau SMS ke 0821 38 388 988. Untuk pembelian minimal Rp 90.000,- GRATIS ONGKIR seluruh Indonesia. Met Order, all!!
0 komentar:
Posting Komentar